Tentang Penulis.\xd \xd Ahmad Wansa Al-Faiz lahir di Tanjung Karang, Bandar Lampung, 7 April 1984. Ia adalah putra pertama dari pasangan Muhammad Ichwan dan Yulisa Iriani. Pernah nyantri di Pesantren La-Tansa, kemudian melanjutkan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Sejarah Peradaban Islam (2002), meski tidak selesai. Ia kemudian menamatkan pendidikan di Ilmu Pemerintahan Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjuang 45), dengan tugas akhir mengenai kinerja berbasis kompensasi pendapatan di IAIN Lampung.\xd \xd Sejak 2003, Ahmad aktif sebagai relawan di KontraS. Kini bermukim di Bandar Lampung, ia produktif menulis di berbagai media seperti - Geotimes - dan - Indonesiana -, dengan minat pada tema orientalisme, epistemologi hukum Islam, serta analisis sosiologi politik. Ia juga menulis karya eksperimental berjudul *Is This Your Personality Number 085156532367.\xd \xd
Setan dan Hoaks dalam Cerpen Salman Rusdhie
4 jam lalu
***
Artikel ini membahas representasi setan, hoaks, dan informasi palsu dalam dua karya Salman Rushdie: cerpen Radio Cuma-Cuma dan novel Midnight’s Children (1981). Melalui analisis tekstual dan pendekatan hermeneutik, tulisan ini berargumen bahwa konsep setan dalam karya Rushdie bukan entitas religius semata, melainkan metafora bagi distorsi komunikasi dan manipulasi informasi.
Hoaks dalam karya tersebut dilihat sebagai bagian dari strategi kuasa kolonial maupun nasional, sedangkan figur Ratu Inggris dipahami sebagai simbol konspirasi imperial yang masih membayang dalam sejarah India pasca-kolonial.
Fenomena hoaks dan informasi palsu bukanlah gejala baru. Jauh sebelum kehadiran media sosial, propaganda kolonial dan media cetak sudah berperan sebagai penyebar narasi yang manipulatif.
Salman Rushdie, seorang pengarang Indo-Inggris yang dikenal lewat novel kontroversial The Satanic Verses (1988), banyak mengangkat persoalan ini melalui gaya alegoris dan satirnya. Cerpen Radio Cuma-Cuma (dari antologi East, West, 1994) menampilkan medium radio sebagai ruang bagi penyebaran informasi gratis yang sebenarnya sarat kepentingan ideologis.
Sementara itu Midnight’s Children), pemenang Booker Prize, memperlihatkan bagaimana sejarah India pasca-kolonial dipenuhi oleh manipulasi informasi, propaganda negara, dan mitos politik yang berkelindan dengan kolonialisme Inggris.
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis representasi setan, hoaks, dan informasi palsu dalam karya Rushdie, dengan menyoroti simbol radio dan figur Ratu Inggris.
Setan sebagai Metafora Distorsi.
Dalam literatur Rushdie, setan kerap dimaknai bukan sebagai sosok religius, melainkan sebagai metafora dari kekuatan destruktif yang memutarbalikkan kenyataan. Hal ini tampak jelas dalam The Satanic Verses di mana wacana setan menjadi perdebatan seputar wahyu, otoritas, dan kebenaran.¹
Dalam Radio Cuma-Cuma setan hadir dalam bentuk distorsi komunikasi: pesan yang tampak netral tetapi justru menggiring pendengar pada arah tertentu. Sebagaimana dicatat oleh teoritikus komunikasi Stuart Hall, media tidak pernah netral, melainkan selalu beroperasi dalam kerangka ideologis tertentu.² Dengan demikian setan adalah kiasan bagi kebohongan struktural yang hadir di balik saluran komunikasi publik.
Hoaks dan Radio sebagai Media Propaganda
Radio pada abad ke-20 dikenal sebagai media massa murah dan dapat diakses oleh siapa saja. Namun, sebagaimana dipaparkan Eric Hobsbawm, media massa kolonial maupun nasional sering kali berfungsi sebagai alat mobilisasi politik yang menciptakan konsensus palsu.³
Rushdie dalam Radio Cuma-Cuma mengkritik ilusi kebebasan informasi. Gratis di sini berarti tanpa biaya, tetapi tidak bebas dari bias. Fakta ini paralel dengan fenomena kontemporer media sosial: akses gratis sering kali ditukar dengan manipulasi algoritmik. Sejalan dengan argumen Baudrillard tentang simulakra, media tidak lagi mencerminkan kenyataan, tetapi menciptakan kenyataan palsu yang dipercaya massa.⁴
Konspirasi Ratu Inggris dalam *Midnight’s Children
Dalam Midnight’s Children, kolonialisme Inggris hadir bukan sekadar sebagai sejarah lampau, melainkan trauma yang terus menguasai ruang politik India. Tokoh Ratu Inggris berfungsi sebagai simbol konspirasi kolonial, sebuah kehadiran yang tak kasat mata namun tetap menentukan.
Rushdie menampilkan Saleem Sinai, tokoh utama, sebagai anak kemerdekaan India, tetapi hidupnya ditentukan oleh narasi besar kolonial dan nasional. Sejarah India pasca-kolonial, menurut Rushdie, adalah produk dari manipulasi informasi di mana konspirasi kolonial bercampur dengan propaganda nasional.⁵
Dengan demikian, figur Ratu Inggris tidak semata-mata merujuk pada tokoh historis, tetapi alegori bagi kekuasaan yang masih membayang meskipun secara formal kolonialisme telah berakhir.
Informasi Palsu sebagai Narasi Kuasa
Michel Foucault menekankan bahwa kebenaran bukanlah entitas objektif yang berdiri sendiri, melainkan produk relasi kuasa.⁶ Rushdie menangkap hal ini dengan memperlihatkan bagaimana sejarah India dipenuhi narasi yang dikonstruksi, yakni sebuah informasi palsu yang kemudian dilembagakan sebagai kebenaran resmi. Saleem Sinai menjadi saksi dari sejarah yang diceritakan ulang, dimanipulasi, bahkan direkayasa. Hoaks dalam karya Rushdie bukan hanya kebohongan kecil, melainkan sistem pengetahuan yang menopang kekuasaan politik. Inilah yang menjadikan karya Rushdie tetap relevan dalam membaca era disinformasi kontemporer.
Analisis terhadap Radio Cuma-Cuma dan Midnight’s Children menunjukkan bahwa Salman Rushdie memanfaatkan simbol setan, radio cuma-cuma, dan Ratu Inggris untuk membongkar relasi antara informasi palsu, propaganda, dan kekuasaan. Setan adalah metafora bagi distorsi realitas; radio sebagai media propaganda menghadirkan hoaks dengan kedok informasi gratis; dan Ratu Inggris berfungsi sebagai simbol konspirasi kolonial yang tetap hidup dalam sejarah India.
Dengan demikian, karya Rushdie menyingkap bahwa hoaks bukan sekadar gejala modern, melainkan warisan panjang kolonialisme dan instrumen politik global. (awe).
Catatan Kaki
1. Salman Rushdie, The Satanic Verses (London: Viking, 1988).
2. Stuart Hall, Encoding/Decoding, dalam Culture, Media, Language (London: Routledge, 1980).
3. Eric Hobsbawm, Nations and Nationalism since 1780 (Cambridge: Cambridge University Press, 1990).
4. Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994).
5. Salman Rushdie, Midnight’s Children (London: Jonathan Cape, 1981).
6. Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977* (New York: Pantheon, 1980).
- Daftar Pustaka.
- Baudrillard, Jean. Simulacra and Simulation. Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994.
Foucault, Michel. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977. New York: Pantheon, 1980. - Hall, Stuart. “Encoding/Decoding.” Dalam Culture, Media, Language. London: Routledge, 1980.
- Hobsbawm, Eric. Nations and Nationalism since 1780. Cambridge: Cambridge University Press, 1990.
- Rushdie, Salman. Midnight’s Children. London: Jonathan Cape, 1981.
- Rushdie, Salman. The Satanic Verses. London: Viking, 1988.
- Rushdie, Salman. East, West. London: Jonathan Cape, 1994.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Setan dan Hoaks dalam Cerpen Salman Rusdhie
4 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler